Followers

Translate

Tuesday, January 16, 2018

EVOLUSI MANAJEMEN SDM

EVOLUSI MANAJEMEN SDM 

     Untuk sampai pada Manajemen dengan pendekatan SDM seperti sekarang ini ternyata perjalanan sejarahnya cukup panjang. Jika dikatakan sebagai perjalanan sejarah, tidaklah berarti atau tidak pula dimaksudkan untuk menggambarkan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwanya secara kronologis. Uraian sejarah seperti itu tidak mungkin dilakukan, karena perkembangan cara perlakuan terhadap manusia dalam bekerja di perusahaan, tidak mungkin menunjuk di mana tempat terjadinya, pada perusahaan atau industri yang mana kejadiannya, dan juga tidak dapat dibatasi rentang waktu (kurun waktu) mulai dan berakhirnya suatu cara perlakuan. Dalam kenyataannya setelah sampai pada abad modern sekarang inipun masih dapat ditemui cara perlakuan terhadap pekerja yang secara dominan perilaku itu terlihat merata beberapa puluh atau ratus tahun lalu. Misalnya cara memperlakukan pekerja sebagai budak yang secara yuridis tidak dibenarkan lagi di seluruh pelosok bumi ini, namun di beberapa tempat masih mungkin saja ditemui perlakuan seperti itu.
     Oleh karena itulah uraian tentang perlakuan terhadap manusia yang menunjukkan perubahan dan perkembangannya, pada dasarnya bermaksud untuk menggambarkan evolusinya. Dengan kata lain merupakan uraian tentang proses perubahan dan perbaikan yang dalam satu kurun waktu, selalu terlihat pertumpangtindihannya. Namun sulit untuk disangkal bahwa dari evolusi tersebut akan terlihat betapa mahal hanga yang telah dibayar manusia, dan sangat banyak korban-korban yang telah berjatuhan, tanpa disadari manusia bahwa sebabnya adalah manusia sendiri. Korban-korban itu pada umumnya tidak dikenal, karena pekerja yang mengalaminya tidak pernah dikategorikan sebagai pembuat dan perubah sejarah cara memperlakukan manusia sebagai pekerja, khususnya di lingkungan perusahaan atau industri.
      Pada giliran berikutnya evolusi itupun pada umumnya berceritera tentang para pekerja di wilayah bumi belahan barat. yang sekarang seolah olah merupakan sumber perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi. Dalam kenyataannya di wilayah tersebutlah secara ilmiah cara perlakuan terhadap pekerja diikuti perkembangan atau evolusinya, meskipun sebenarnya di wilayah atau belahan burni lainnya pernah terjadi perkembangan yang sama atau hampir sama.

1. Masa Pra Revolusi Industri 

Berbagai gejala dalam dunia bisnis, khususnya berupa cara memperIakukan para pekerja di perusahaan dan industri pada masa ini dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Metode kerja pada masa ini ditempatkan dan dinilai sebagai faktor utama dan penentu tingkat produktivitas pekerja, yang berdampak pada tingkat produktivitas perusahaan atau industri.

b. Manusia di lingkungan pemsahaan dan industri memusatkan perhatian pada usaha mencari dan menciptakan metode kerja yang terbaik dan temnggul. Metode kerja yang terpilih harus dipergunakan dalam bekerja, tanpa boleh berbuat kekeliman secara sengaja atau tidak sengaja. Usaha pekerja untuk memperbaiki atau menyempurnkannya, dipandang sebagai kebodohan dan kesalahan yang harus mendapat hukuman.

c. Manusia diperlakukan sebagai obyek, bahkan tidak sedikit yang diperbudak, tanpa hak untuk ikut memikirkan dan menentukan cara meningkatkan produktivitas. Dalam kedudukan sebagai obyek, manusia tidak lebih daripada alat produksi yang hams bekerja sesuai kehendak pemberi kerja.

d. Setiap kekeliruan dalam bekerja adalah kesalahan pekerja meskipun sebenamya yang keliru adalah keputusan atau perintah dari pemberi kerja/majikan. Kesalahan berarti sanksi atau hukuman yang tidak menguntungkan. Pekerja hanya memiliki kewajiban dan tidak memiliki hak. Hak dan kewajiban adalah bekerja, tanpa boleh mempertanyakan umsan basil dan imbalan dari jerih payahnya dalam bekerja.

2. Masa Revolusi Industri 

a. Masa ini memiliki tiga ciri utama sebagai berikut:

  1. Penemuan berbagai jenis mesin/teknologi. 
  2. Peranan manusia adalah penggerak mesin. 
  3. Industri berkembang secara pesat. 

b. Akibatnya:

  1. Berlangsung akselerasi perkembangan bisnis dan perdagangan yang menghasilkan pengusaha kapitalis.  
  2. Tenaga kerja di bidang industri berkembang dalam jumlah besar, terutama yang memiliki keterampilan tingkat rendah. 
  3.  Berkembangnya pekerjaan sebagai spesialisasi, sesuai dengan jenis barang yang diproduksi. 


c. Filsafat Bisnis:
     Filsafat utama adalah laizzes faire berupa kebebasan sepenuhnya bagi para industriawan dan pemilik modal untuk mengatur lingkungannya masing-masing. Pemen'ntah tidak ikut mengatur lingkungan industri dan perdagangan para pemilik modal, termasuk juga terhadap nasib para pekerja. Sedang di lingkungan para pemilik industri dan perusahaan, perhatiannya hanya ditujukan pada usaha meraih keuntungan sebanyak~ banyaknya, dengan memperalat dan bahkan memperbudak para pekerja.

d. Perlakuan terhadap SDM:

     1. Para pekerja yang pada umumnya disebut buruh dituntut mampu bekerja seperti mesin, yang harus siap kapanpun juga untuk bekerja secara prima. Para majikan tidak menaruh perhatian dan tidak mempersoalkan tingkat keletihan, kejenuhan, keamanan, kesehatan, dan lain-lain dalam bekerja. Sedang upahnya sangat rendah, karena banyaknya tenaga kerja yang berketerampilan tingkat rendah.

     2. Kondisi jumlah tenaga kerja tingkat rendah yang berlimpah itu, mengakibatkan berlangsungnya jual beli tenaga kerja. Dengan kata lain manusia sebagai tenaga kerja menjadi komoditi yang diperjualbelikan, sehingga para pernilik modal dan industri merasa berhak memeras tenaganya dengan upah yang sangat kecil. Kehidupan para pekerja dan keluarganya terlihat sangat memprihatinkan.

     3. Keuntungan sepenuhnya dinikmati para pengusaha dan pemilik industri beserta jaringannya, untuk memperkaya diri sebagai kapitalis.

3. Berdirinya Serikat Pekerja 

     Kondisi para pekerja yang memprihatinkan itu mendorong timbulnya perasaan senasib sebagai suatu golongan yang berbeda dari golongan pemilik modal dan industri. Oleh karena itu pada masa ini terlihat gejala-gejala sebagai berikut:

a. Para pekerja/buruh bemsaha untuk melindungi golongannya dari perilaku para pernilik modal dan industri yang tidak layak manusiawi.

b. Para pekerja membentuk badan musyawarah kolektif atau serikat pekerja atau organisasi buruh, yang tujuan utamanya adalah untuk melakukan usaha bersama dalam melawan para pemilik modal/industri atau para pengusaha. Organisasi ini menghimpun para pekerja untuk memperjuangkan kepentingannya dengan melakukan musyawarah dengan anggotanya, dan kemudian menyampaikan tuntutan-tuntutan perbaikan melalui wakil~ nya yang menjadi pengurus organisasi para pekerja.

c. Organisasi Buruh (Labor Union) dan Serikat Pekerja (Trade Union) berusaha memperjuangkan hak-hak para pekerja sebagai anggotanya secara kolektif. Di antaranya berupa perjuangan hak untuk berserikat, dengan menggunakan kekuatan-kekuatan yang dapat merugikan para pemilik modal dan industri. Misalnya dengan melakukan pemogokan, yang berakibat proses menghasilkan sesuatu produk dapat terhenti.

d. Pada masa awal berdin'nya dukungan pemerintah sangat rendah, dan untuk jangka waktu yang cukup lama pihak pemerintah justru lebih berpihak pada pemilik modal dan industri. Namun dengan perjuangan yang gigih pada masa-masa selanjutnya organisasi buruh atau serikat pekerja berhasil dengan diakui/diterima keberadaannya, sebagai organisasi yang mewakili para pekerja.

e. Keberhasilan itu di beberapa negara bahkan mendorong pemerintah untuk menetapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur dan membatasi aktivitas para pemilik modal dan industri dalam memperlakukan tenaga kerja sebagai manusia. Peraturan perundang-undangan itu tidak sedikit yang dilengkapi dengan pengaturan dan pembatasan terhadap kegiatan serikat pekerja atau organisasi buruh beserta anggotanya dalam melaksanakan perjuangan untuk memperbaiki nasibnya.

4. Masa Manajemen Ilmiah (Scientific Management) 

     Perilaku para pemilik modal dan industri, demikjan pula perilaku para pekerja ternyata tidak luput dari sorotan para ilmuwan dalam usahanya mengembangkan ilmu. Para ilmuwan yang bekerja secara ilmiah merasa tenarik untuk mengungkapkan perilaku di dum'a bisnls secara obyektif dengan mempelajari cara mengelola perusahaan dan industri yang disebut "manajemen". Manajemen ilmiah ini berusaha menyentuh seluruh aspek dalam proses produksi suatu perusahaan/industri yang selalu mengikutsertakan sejumlah manusia. Sentuhannya dilakukan dengan mempergunakan berbagai disiplin ilmu, meskipun yang paling dominan dipergunakan adalah disiplin ilmu ekonomi. Usaha itu meskipun tidak langsung menyentuh aspek tenaga kerja, namun tujuan akhirnya adalah untuk mewujudkan dan meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses produksi, yang tidak mungkin dilepaskan kaitannya dengan faktor manusia. Beberapa gejalanya terlihat sebagai berikut:


  1. Studi manajemen secara ilmiah berkembang kearah usaha mempelajari pekerjaan/jabatan dalam hubungannya dengan waktu dan gerakan. Stud' tersebut berusaha mengungkapkan gerakan yang perlu dilakukan dalam mengerjakan proses produksi, baik secara keseluruhan maupun bagian demi bagiannya. Kemudian bemsaha menemukan gerakan yang paling efisien dengan mempergunakan waktu yang singkat (gerakan terbaik dengan waktu tercepat), sebagai cara bekerja yang dikategorikan efektif dan efisien.                      
  2. Dari hasil studi tersebut terbukti dan diterima suatu kesimpulan bahwa pekerja adalah manusia yang sama seperti yang lainnya. Kesimpulan itu mengatakan bahwa dalam bekerja kemampuan fisik dan psikis berfungsi sebagai satu kesatuan. Kemampuan fisik berupa keterampilan yang digunakan dengan proses mental yang tinggi akan menghasilkan tenaga spesialisasi. Untuk itu diperlukan kegiatan pelatihan yang memperpadukan usaha mengembangkan kedua kemampuan tersebut, agar menghasilkan tenaga kerja yang produktif. Dengan kata lain keterampilan yang tinggi memerlukan kondisi mental yang potensial, sedang proses mental yang tinggi memerlukan kesehatan fisik yang prima. Oleh karena itu perbedaan keterampilan dan tingkat keahlian dalam bekerja hams mendapat perhatian para manajer, terutama dengan cara mengatur skala dan prosedur pemberian insentif sebagai penghargaan atas prestasi pekerja. Namun pengaturan tersebut tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan batas/limit waktu dalam bekerja, dalam arti insentif harus diatur pula sesuai dengan pengorbanan waktu yang diberikan oleh pekerja. Semakin panjang waktu yang digunakan berarti semakin banyak tenaga fisik dan mental yang dipergunakan, sehingga layak dibedakan pengaturan insentifnya dari yang bekerja dengan mempergunakan waktu secara normal.                                    
  3. Dari sisi lain studi ilmiah dalam manajemen memberikan tekanan pula pada pekerjaan yang mengandung dua aspek, terdiri dari aspek teknis dan apsek sosial. Kedua aspek tersebut ternyata sangat besar pengaruhnya pada produktivitas. Aspek teknis berhubungan erat dengan keterampilan dan proses mental sebagai satu kesatuan sebagaimana telah dijelaskan terdahulu. Sedang aspek sosial berkenaan dengan sikap dan nilai-nilai yang mendukung keberhasilan dalam bekerja. yang dalam pelaksanaannya mengharuskan pekerja bekerjasama atau saling berinterasi satu dengan yang lain. Kemampuan mewujudkan komunikasi yang efektif dalam bekerja karena keberhasilan yang satu dipengaruhi oleh yang lain, ternyata sangat menentukan tingkat produktivitas pekerja, di samping faktor keterampilan dan kemampuan mental yang tinggi. 


     Namun sulit untuk dibantah bahwa pada fase ini titik berat manajemen ilmiah dengan studi waktu dan gerak lebih diarahkan pada efisiensi kerja dan produktivitas kerja individual. Penekanan itu karena sangat sulit mengukur secara kuantitatif tingkat pengaruh aspek sosial terhadap efisiensi dan produktivitas kerja.

5. Permulaan Psikologi Industri 

Oleh karena pekerja adalah manusia yang terdiri dari dua substansi yang terpadu berupa tubuh dan jiwa (psikis), maka studi ilmiah merasa kurang puas apabila hanya disandarkan pada perilaku kongkrit yang terlihat selama bekerja. Dalam kenyataannya bekerja adalah kegiatan atau tingkah laku manusia, yang digerakkan oleh psikisnya. Untuk itulah maka dimulai usaha mempelajari tenaga kerja dari sudut psikologi, sebagai ilmu tentang . perilaku manusia dan latar belakangnya. Studi dilakukan secara intensif pada pekerja di lingkungan industri, sehingga dikenal sebagai Psikologi Industri.
     Pelaksanaan Studi tersebut dilakukan berupa kerja sama antara para ahli psikologi dan tokoh-tokoh industri, melalui usaha menseleksi pekerja teknis, untuk mendapatkan SDM yang dapat didayagunakan secara efektif dalam meningkatkan produktivitasnya. Dari Studi psikologi itu diperoleh dua hasil positif sebagai berikut:


  1. Dunia industri/perusahaan memulai kegiatan Analisis Perkerjaan/Jabatan, yang disatu pihak menghasilkan uraian mengenai tugas-tugas yang harus dilaksanakan dalam jabatan/pekerjaan tertentu. Sedang di pihak lain dihasilkan juga kualifikasi yang dituntut oleh suatu pekerjaan/jabatan, yang dapat membantu dalam menetapkan SDM yang kualifaid dalam melaksanakannya, agar berlangsung efektif dan eflsien.                                                                                 
  2.  Dimulai dan dikembangkannya penggunaan berbagai bentuk tes, khususnya tes bakat (aptitude test), skala nilai dalam interviu dan penggunaan statistik dalam seleksi untuk mendapatkan calon pekerja yang potensial. Penggunaan statistik tidak saja untuk mengolah hasil tes, tetapi juga sebagai usaha meningkatkan validitas dan reliabilitas tes, sebagai alat prediksi kemampuan calon pekerja. Penggunaan tes meluas di lingkungan militer, yang bahkan mengembangkan penggunaan tes inteligensi, melalui studi psikologi yang intensif. Pada masa-masa berikutnya ternyata semakin berkembang dan meningkat dengan digunakannya tes minat dan tes kepribadian (personality test). Penggunaan semua bentuk tes tersebut sebagai hasil studi psikologi, terutama dimaksudkan untuk meningkatkan kecermatan dalam seleksi tenaga kerja, yang seluruhnya terarah pada usaha meningkatkan produktivitas organisasi (industri dan perusahaan sejenis). 


6. Komisi Pelayanan Sosial 

      Pada fase ini terjadi perkembangan yang progresif di lingkungan pemerintahan, yang dalam menjalankan fungsinya melakukan/memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service) mulai menaruh perhatian pada para pekerja di lingkungan industri/perusahaan. Perhatian itu diwujudkan dengan membentuk Komisi Pelayanan Sosial atau yang sejenis, untuk menjalankan kebijaksanaan SDM berupa pemberian perlindungan bagi para pekerja. Pemberian pelayanan kepada masyarakat sebagai salah satu tugas pokok pemerintah, di samping tugas pokok melaksanakan pembangunan, harus dilaksanakan juga secara serius bagi para pekerja yang pada waktu itu disebut buruh, yang jumlahnya sangat banyak dengan kondisi kehidupan yang masih memprihatinkan.

     Beberapa bentuk perlindungan yang diberikan melalui komisi ini adalah:

  1. Ditetapkannya kebijaksanaan bahwa dalam seleksi calon pekerja tidak boleh dimanfaatkan secara tidak sehat untuk kepentingan politik. 
  2. Komisi Pelayanan Sosial merupakan pemegang mandat dalam menyelesaikan masalah-masalah para pekerja dalam hubungannya dengan pemilik perusahaan/industri. 
  3.  Komisi melakukan usaha yang mengarah pada pemberlakukan sistem penilaian atas jasa dan prestasi kerja, baik untuk kepentingan pemberian ganjaran maupun pengembangan kan'er para pekerja. 


     Di Indonesia evolusi seperti tersebut di atas dapat dianalogkan den gan dibentuknya Departemen Tenaga Kerja oleh Pemerintah, yang memiliki kewenangan menyelenggarakan badan yang berhubungan dengan pemberian perlindungan bagi para pekerja. Di samping itu diselenggarakan juga badan yang disebut Bipartit di lingkungan industri perusahaan untuk menyelesaikan
perbedaan pendapat antara pekerja dan pemilik. Selanjutnya apabila penyelesaian perbedaan pendapat itu mengikutsertakan pemerintah, maka dibentuklah badan Tripartit. Sedang untuk kepentingan pegawai negeri telah dibentuk dan
diselenggarakan Pengadilan Administrasi Negara. Di samping jtu masyarakat (swasta) juga dibenarkan mendirikan/menyelenggarakan Badan/Lembaga Bantuan Hukum, yang dapat digunakan para pekerja untuk melindungi hak dan kepentingannya.

7. Manajemen Personalia Dengan Pendekatan Pribadi 

     Dalam kalimat yang sederhana dan singkat disebut juga Manajemen Personalia. Pada fase ini perkembangan di lingkungan perusahaan/industri terlihat berupa mulai dibentuknya unit kerja (departemen atau biro) dengan tugas mengelola para pekerja. Langkah ini menunjukkan bahwa di lingkungan tersebut sudah dimulai kegiatan manajemen SDM, meskipun belum seperti perkembangannya sekarang ini.
     Perkembangan itu mengharuskan perusahaan industri memperkerjakan tenaga spesialis di luar bidang bisnis, walaupun tugasnya dalam mengelola pekerja masih sangat terbatas. Di antara tugas-tugasnya yang menginsyaratkan bahwa perhatian pada pekerja sebagai SDM bagi perusahaan/industri telah semakin baik, antara lain berkenaan dengan pengelolaan kesejahteraan/ keuangan, khususnya upah/gaji para pekerja. Demikian pula termasuk dalam tugas pokoknya adalah pengelolaan perumahan, kesehatan dan pendidikan, pelatihan tenaga kerja serta keamanan dan keselamatan kerja.
     Usaha seperti tersebut di atas merupakan dasar bagi perkembangan atau evolusi berikutnya berupa pembentukan unit kerja dengan tugas melaksanakan manajemen SDM sebagaimana dituntut pada abad modem sekarang dan di masa mendatang.

8. Gerakan Pembinaan Hubungan Manusiawi 

     Kegiatan ilmiah dalam mempelajari manusia yang bekerja di lingkungan industri/perusahaan terus dikembangkan dengan melakukan berbagai penelitian. Penelitian pada umumnya difokuskan pada perilaku para pekerja, dengan tujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor di dalam situasi kerja yang berpengamh terhadap produktivitas kerja.

      Salah satu rekomendasi basil pcnclitian mcnckankan bahwa produktivitas dipengaruhi oleh tingkat kualitas kerjasama dalam kelornpok (team work). Di samping itu direkomendasikan pula bahwa kerjasama antara pekerja dengan manajer, pada dasarnya mempakan "suatu sistem sosial". Rekomendasi itu bermaksud membantah pendapat sebelumnya yang mengidentifikasi hubungan itu sebagai "sistem teknis ekonomis (technical economic system)". Dengan demikian berarti hubungan yang longgar atas dasar perhitungan finansial antara pemberi kerja dengan penerima kerja, tidak dapat dikembangkan dalam usaha meningkatkan produktivitas. Hubungan seperti itu tidak berfungsi untuk meningkatkan rasa ikut memiliki dan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan perusahaan dalam mencapai tujuannya. Sebaliknya hubungan sosial yang didasari oleh pengertian, pemahaman, penghormatan dan penghargaan pada harkat dan martabat pekerja sebagai manusia, akan berfungsi untuk menimbulkan dan mengembangkan perasaan kebersamaan. Perasaan seperti itu akan berpengaruh pada perkembangan perasaan memiliki dan perasaan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan perusahaan mencapai tujuannya.

      Oleh karena itulah pada fase ini hubungan manusiawi di lingkungan industri/perusahaan dinilai sangat penting, yang hanya dapat diwujudkan melalui usaha memberikan kondisi yang menimbulkan rasa aman dan puas dalam bekerja. Usaha itu mengharuskan para manajer menyelenggarakan dan mengembangkan berbagai kegiatan informal, yang memungkinkan berlangsungnya interaksi sosial yang positif dan efektif. Kegiatan tersebut perlu diprogramkan agar berkelanjutan, dengan tidak membeda-bedakan pcsertanya berdasarkan status dan jabatan.

      Uraian-uraian di .atas berarti juga para manajer perlu menghindari pembinaan hubungan manusiawi sekedar untuk mencapai tujuan jangka pendek dalam meningkatkan hasil kerja (out-put). Misalnya pada saat perusahaan menghadapi masalah ditampilkan sikap ramah dan diselenggarakan berbagai kegiatan informal. Kemudian setelah masalah terselesaikan kegiatan informal dihentikan dan para manajer kembali bersikap acuh tak acuh pada para pekerja.

      Pembinaan hubungan manusiawi di lingkungan industri/perusahaan harus dilakukan untuk jangkan panjang, karena merupakan kebutuhan hidup manusxa, baik bagi yang berstatus pekerja biasa maupun para manajer. Dampaknya berupa terwujud dan berkembangnya sikap kebersamaan, akan berpengaruh pada eksistensi organisasi (industri dan perusahaan) yang kompetitif secara berkelanjutan.

9. Studi Perilaku Secara Ilmiah 

     Studi perilaku manusia bukan kclanjutan studi hubungan sosial dan Studi-studi lain sebelumnya, walaupun secara akademik bermaksud membahas masalah yang cenderung sama. Studi ini didorong oleh munculnya Psikologi Tingkah Laku (Behavioral Psychology), namun dilakukan melalui pengintegrasian berbagai disiplin ilmu. Berbagai disiplin ilmu sosial seperti psikologi industri, psikologi organisasi, psikologi sosial, ilmu organisasi, ilmu komunikasi, teori perilaku dalam berorganisasi, ilmu hukum, sosiologi, dan lain-lain diintegrasikan dengan ilmu biologi, mathematika dan statistika, untuk memberikan makna perilaku manusia dalam bekerja secara eksak. Studi seperti itu berkembang karena didasari pendapat bahwa manusia memiliki unsur jasmaniah yang ikut mempengaruhi perilakunya secara organik. Misalnya dalam mempelajari proses kesadaran seseorang terhadap suatu perangsang (stimulus) yang menyentuh syaraf mata atau pendengarannya, yang kemudian diteruskan ke otak sebagai pusat syaraf, yang dengan cepat mencernakannya, kemudian memerintahkan salah satu anggota tubuh memberikan respon.
      Dengan mempergunakan berbagai disiplin ilmu itu, studi perilaku secara ilmiah merekomendasikan bahwa industri atau perusahaan sebagai organisasi merupakan suatu masyarakat yang memiliki budaya (kultur) masing-masing yang unik. Dalam kondisi seperti itu suatu organisasi bukan sekedar merupakan sistem sosial sebagai perwujudan hubungan manusiawi yang statis dan rutin. Akan tetapi harus diterima kenyataan bahwa kultur yang unik itu dipengaruhi pula oleh struktur dengan berbagai jabatan, yang menempatkan seseorang pada posisi tertentu. Setiap posisi mengemban kekuasaan atau wewenang dan tanggung jawab yang berbeda-beda, yang berpengaruh dalam cara memberikan respon, sehingga dapat berbeda-beda, meskipun perangsangnya sama. Demikian pula di lingkungan para pekerja yang tidak menempati salah satu posisi berdasarkan struktur organisasi yang tardapat di perusahaan/industri, yang dalam kultur yang unik akan berbedabeda pula dalam memberikan respon terhadap suatu perangsang. Di samping itu karena teknologi dan jenis pekerjaan yang berbeda-beda, maka keunikan kultur organisasi menjadi semakin berkembang. Dalam kultur seperti itu sulit untuk dibantah bahwa pengaruhnya berakibat pada semakin banyaknya variasi pekerja dalam merespon suatu perangsang. Misalnya perilaku dalam menerima teknologi baru untuk meningkatkan produktivitas, yang dapat menimbulkan berbagai respon.

     Oleh karena itulah pada fase ini studi perilaku menjadi panting, karena bermaksud mengungkapkan cara merespon suatu stimulus (perangsang), yang berlangsung dalam bentuk perilaku atau cara bekerja sebagai individu yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pekerja lain sebagai individu pula dalam

melaksanakan pekerjaan. Dalam prakteknya terdapat berbagai cana yang perlu diidentiftkasi untuk mengetahui dampaknya pada produktivitas kerja. Beberapa cara itu antara lain dengan mempergunakan penekanan, pemaksaan, berbohong, persekongkolan, dan lain-lain yang dapat berakibat buruk terhadap respon pekerja dalam melaksanakan tugasnya. Misalnya para pekerja tidak menyenangi janji-janji, yang jika tidak dilaksanakan dikategorikan sebagai tindakan berbohong (stimulus), yang akan menimbulkan berbagai respon dalam bekerja. Untuk itu tidak ada pilihan lain bagi para manajer agar bemsaha memilah-milah perangsang yang dapat diberikannya, agar respon yang diharapkannya dari para pekerja tidak akan merugikan organisasi (perusahaan atau industri).

10. Pentahapan Implementasi Manajemen SDM 

     Perlakuan terhadap peketja di lingkungan perusahaan dan industri, tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan perhatian dan kebijaksanaan pemerintah dalam melaksanakan tugas mensejahterakan kehidupan rakyatnya. Industn' dan perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis, sangat besar pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat/rakyat, dan tidak terbatas sekedar bagi para pekerja. Oleh karena itulah pada abad modern sekarang ini dan di masa mendatang akan selalu ditemui ketentuan formal dalam bentuk perundangundangan yang mengatur pelaksanaan bisnis, termasuk juga yang menyentuh Manajemen Sumber Daya Manusia.
     Dalam kenyataannya fase ini menunjukkan adanya empat tahap sebagai berikut:


  1. Tahap pertama tersebut "tahap pengarsipan dan pemeliharaan berkas (file maintenance) para pekerja". Berkas-berkas pekerja mempakan dasar dalam penempatannya, yang sudah dimulai sejak menskrining data pribadi setiap pekerja. Dari berkas-berkas yang hams diarsipkan dan diawetkan/dipelihara, sebagai ketentuan formal yang harus dipatuhi, dapat diperoleh data atau informasi mengenai pekerja. yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan termasuk juga oleh dan untuk organisasi. Di antaranya dapat dipergunakan untuk kegiatan pembinaan dan pengembangan karier setiap pekerja, dengan memanfaatkan data pribadinya di dalam arsip, yang dapat menceriterakan tentang aspek-aspek yang merupakan kelebihan atau kekurangannya dalam bekerja.                                                                                                     
  2. Tahap yang kedua adalah "tahap peningkatan tanggung jawab pemerintah", terutama dalam melindungi hak-hak asasi warga negaranya, termasuk juga bagi pekerja di perusahaan/industri. Pada tahap ini dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang menyentuh juga mengenai cara memperlakukan pekerja. Ketentuan-ketentuan itu tidak boleh diabaikan oleh industri/perusahaan, karena isinya bermaksud meningkatkan harkat dan martabat para pekerja sebagai manusia, yang pelaksanaannya selalu diawasi atau dikontrol.                                                                                                                                                        
  3. Tahap ketiga adalah "tahap tanggung jawaborganisasi". Pada tahap ini dunia usaha sangat dipengaruhi oleh globalisasi. Industri dan perusahaan sesuai dengan perkembangan ekonomi yang sangat dipengaruhi politik global, memerlukan sejumlah SDM yang memiliki kemampuan tinggi dan bersifat kompetitif. Industri/perusahaan menjadi pihak yang membutuhkan SDM berkualitas, karena dunia usaha menghadapi persaingan yang semakin berat dan tajam. Keharusan memiliki SDM yang kompetitif tersebut, memikulkan tanggung jawab untuk dapat mempertahankan dan membinanya, agar mampu memenangkan persaingan yang tidak dapat dielakkan lagi. Industri/perusahaan tidak dapat lagi mengabaikan kewajiban atau tanggung jawab pembinaan SDM secara berkualitas, karena dibutuhkannya untuk dapat mempertahankan eksistensinya dalam bisnis global sekarang dan di masa mendatang.                              
  4. Tahap keempat adalah "tahap strategi kemitraan (strategic partnership)". Pada tahap ini persaingan memperebutkan pasar global semakin meluas. Semakin banyak industri/perusahaan yang sulit memenuhi tuntutan persaingan pasar global dengan usahanya sendiri. Untuk itu diperlukan usaha mewujudkan dan mengembangkan bisnis kemiteraan, terutama antara perusahaan besar dengan perusahaan kecil. Dalam kemiteraan itu perusahaan besar dapat memusatkan perhatiannya untuk merebut dan memperluas pasar global, sedang perusahaan kecil memusatkan perhatiannya pada proses memproduksi suatu produk, baik sebagai satu kesatuan maupun komponen-komponennya. Produk itu harus mampu mempertahankan kualitas sesuai tuntutan pasar global. Dengan demikian kedua pemsahaan yang melakukan kerjasama akan dapat berkembang secara bersama-sama dan tidak saling mengancam yang dapat mematikan perusahaan kecil. 


      Dalam keadaan itu semakin jelas bahwa perusahaan besar dan perusahaan kecil memerlukan SDM berkualitas. Di satu pihak perusahaan besar memerlukan SDM berkualitas dalam arti mampu memenangkan persaingan dalam merebut dan mempenahankan pasar global. Sedang di pihak lain perusahaan kecil memerlukan SDM berkualitas, dalam arti memiliki kemampuan mewujudkan proses produksi yang menghasilkan produk sesuai dengan tuntutan dan persyaratan pasar global. Di Indonesia program kemiteraan ini antara lain dilakukan melalui program Bapak Angkat".

      Dalam bisnis global kerap kali mengharuskan industri/perusahaan mengalihkan atau mengganti bidang bisnisnya, bukan saja karena tidak kompetitif, tetapi juga disebabkan oleh produknya yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan keinginan dan kebutuhan konsumen global. Dalam keadaan seperti itu dilihat dari segi SDM perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:

a. Mempertahankan personil kunci yang memiliki kemampuan bisnis tinggi.

b. Memprogramkan penyesuaian kemampuan tenaga kerja dengan bisnis baru, terutama jika diintroduksikan penggunaan teknologi baru.

c. Menyelesaikan masalah-masalah sosial yang timbul, terutama jika terdapat sejumlah tenaga kerja yang tidak dapat ditempatkan dalam reorganisasi berdasarkan bisnis baru.

d. Diperlukan usaha memilih dan menempatkan para manajer yang profesional dalam menghadapi bisnis global yang penuh tantangan.

     Keempat langkah untuk mengantisipasi perubahan bidang bisnis tersebut di atas, tidak boleh mengabaikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, agar tidak nenimbulkan masalah yang dapat merugikan.

     Dalam kondisi peraturan perundang-undangan yang mengikat, sedang dunia bisnis mengarah pada perdagangan bebas, maka usaha meningkatkan produktivitas di satu pihak memang tergantung pada faktor pemodalan, namun faktor SDM berupa tenaga kerja yang profesional dan berkualitas tidak boleh diabaikan. Kegagalan akan mudah terjadi apabila para manajer mengabaikan penggunaan tenaga kerja yang profesional. Sebaliknya penggunaan tenaga kerja yang profesional akan membawa juga pada kegagalan apabila tidak dikelola dengan Manajemen SDM yang relevan, antara lain dengan berusaha mewujudkan partnership antara manajer dan para pekerja, disamping upaya mewujudkan rasa aman dan puas dalam bekerja.

No comments:

Post a Comment